Senin, 11 April 2011

Madu Hutan Lampung Barat Terkenal di Belanda

Kamis, 30 September 2010 17:33 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, LIWA--Turis Belanda menggemari madu hutan Lampung Barat, bahkan ketenaran madu hutan daerah ini hingga negara tersebut, kata seorang pedagang Sukendar (38) di Lampung Barat, Kamis. "Madu hutan dari Lampung Barat digemari turis dari mancanegara terutama yang berasal dari Belanda, bahkan mereka saat mereka melakukan kunjungan berlibur di Lampung Barat selalu menyempatkan membeli madu hutan tersebut," katanya.

Pedagang madu hutan Kecamatan Sumberjaya, Lampung Barat, sekitar 256 km dari Bandarlampung, di Sumberjaya itu mengaku setiap bulan menyiapkan pesanan madu hutan dari sejumlah turis melalui agen wisata daerah ini. Dia mengatakan, harga madu hutan tidak dibedakan baik masyarakat dalam daerah maupun turis asing. Semua sama, yang membedakan harganya hanya kualitas madu itu sendiri.

Setiap bulan permintaan madu hutan pedagang mengalami peningkatan seiring tersebarnya informasi mengenai khasiat madu yang dicari warga masyarakat, jelasnya. "Kekurangannya hanya kemasan masih sederhana. Kami berharap, ke depan pemerintah dapat membantu untuk mengalokasikan bantuan modal, agar pengelola madu hutan dapat dilakukan dengan kemasan modern dan menarik perhatian konsumen," katanya.

Madu hutan yang dihasilkan masyarakat Lampung Barat dipercaya memiliki kualitas tinggi, sehingga mutu dan kualitas yang baik itu membuat sebagian besar turis asing menyukainya, terutama turis yang berasal dari Belanda.

Sebagian besar wilayah di Lampung Barat adalah hutan, sehingga ketersediaan madu diprediksi banyak, sehingga tidak kesulitan bagi pemburu madu untuk mencarinya. Pasokan madu akan berkurang bila kondisi cuaca tidak membaik. Pasalnya sebagian besar pencari madu kesulitan memanjat pohon dengan ketinggian lebih dari 40 meter.

Ketenaran madu daerah ini membuat sejumlah turis asing kerap membawa madu hutan Lampung Barat untuk dibawa ke negaranya sebagai buah tangan atau oleh-oleh wajib bagi wisatawan yang berkunjung di daerah tersebut.

Selain nikmat, madu hutan Lampung Barat juga dinilai berkhasiat, sehingga pelanggan dari dalam dan luar daerah memanfaatkan madu hutan sebagai obat, atau sebagai campuran obat herbal lain.


Pedagang mampu menjual madu hutan hingga 50 botol setiap minggu. Penjual madu mengalami peningkatan omzet penjualan bila pesanan madu meningkat, tambahnya.

Seorang turis asal Belanda, Steve Bernito (34) mengatakan, madu hutan Lampung Barat enak. "Setiap saya berkunjung di Lampung Barat selalu membawa madu hutan sebagai buah tangan untuk keluarga. Selain itu madu hutan ini dapat memberi banyak khasiat bagi kesehatan," kata dia.

Dia mengatakan, harga madu hutan Lampung Barat terjangkau, dan yang terpenting berkualitas baik. "Madu hutan ini menjadi buah tangan wajib bagi saya saat berlibur di Lampung Barat. Bahkan dari informasi yang saya sampaikan, akhirnya teman-teman saya banyak yang membawa madu ke negaranya," katanya.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Ant

Kopi Organik dari Lampung

Saat sebagian pihak masih berkutat dengan upaya peningkatan produksi, Suparyoto sudah berupaya memperbaiki kualitas produksi kopi. Saat pasar dunia meributkan dampak budidaya pertanian berbahan kimia, dia telah berpikir untuk menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan.

Seluruh upaya itu terwujud dalam bentuk budidaya pertanian kopi robusta organik di Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Kawasan berudara sejuk dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis.

Suparyoto adalah Ketua Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Maka, pada waktu-waktu tertentu ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pengurus kelompok tani tersebut. Misalnya, ketika mereka memutuskan menggunakan mesin pemotong rumput untuk membasmi rumput yang banyak tumbuh di bawah tanaman kopi.

”Mesin ini diharapkan bisa menjadi pengganti obat kimia pembasmi rumput,” ujar Suparyoto, atau Pak Par, panggilannya.

Dari Semarang, Jawa Tengah, Suparyoto datang ke Gunung Terang pada 1994, menyusul orangtuanya yang menjadi petani. Di sini ia mendapati penghidupan warga desa yang umumnya miskin. Mereka menggantungkan hidup dari hutan karena kopi hanya dipanen sekali setahun. Akibatnya, daya dukung hutan terus menurun.

Dia lalu membentuk kelompok tani. ”Dalam pikiran saya, kelompok tani akan memampukan petani di Gunung Terang untuk mengakses pasar dan sarana pertanian,” ujar Suparyoto yang juga mengajari warga menanam pisang di antara tanaman kopi, selain menanam sayuran atau empon-empon, untuk menambah pendapatan.

Pada September 2000 terbentuk kelompok tani Tunas Enggal dan dua kelompok hutan kemasyarakatan (HKm). Kelompok HKm dibentuk untuk merespons surat keputusan Menteri Kehutanan mengenai pengelolaan hutan bersama masyarakat. Lewat HKm, warga setempat diizinkan mengelola hutan Bukit Rigis yang rusak, sekaligus untuk menyelamatkannya. Sedangkan Tunas Enggal dibentuk untuk mempermudah akses pasar dan memperkuat kelembagaan petani.

”Saat itu kami mendapat pendampingan dari Watala, lembaga pendampingan masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan,” ujarnya.

Kesulitan pupuk

Pendorong untuk beralih pada budidaya organik muncul ketika pada tahun 2003-2004 petani kesulitan mendapatkan pupuk kimia. Bersama Watala, Suparyoto mengajak warga memakai kotoran kambing dan kompos sebagai ganti pupuk kimia. Petani yang tergabung dalam Hkm dan Tunas Enggal lalu diajari membuat pupuk organik dari kotoran kambing dan dedaunan.

Suparyoto menjadikan kebun kopinya sebagai contoh kebun organik. Menggunakan pupuk organik, mendorong dia membuat perbandingan sebagai evaluasi sekaligus daya tarik. Bila menggunakan pupuk kimia campuran, petani membutuhkan 1,5 ton-2 ton pupuk per tahun. Ditambah biaya tenaga kerja, petani harus mengeluarkan ongkos lebih dari Rp 5 juta per tahun. Sedangkan dengan pupuk organik, petani bisa menghemat biaya pemeliharaan kebun hingga 30 persen.

Namun, dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia yang kecil jumlahnya, petani membutuhkan setidaknya 6 ton pupuk organik per hektar per tahun. Beruntung ada bantuan kambing dari Heifer Internasional Indonesia, Watala, dan Dinas Peternakan Lampung Barat untuk memenuhi kebutuhan bahan pupuk organik. Kebun kopi yang dikelola dengan pupuk kimia bisa menghasilkan 1,5 ton biji kopi per hektar, sedangkan kebun kopi organik pada tahun pertama hanya menghasilkan 900 kilogram per hektar.

”Sayangnya, petani tidak berpikir, pupuk kimia membuat tanah bergantung pada obat penyubur itu. Coba tidak dipupuk selama empat tahun berturut- turut, tanah pasti tidak produktif. Sedangkan pupuk organik dapat menjaga tingkat kesuburan dan unsur hara tanah,” ujarnya.

Meski begitu, Suparyoto terus memberikan pengertian kepada petani. Soal penurunan produksi hingga 60 persen dari produksi normal dengan pupuk kimia, misalnya, ia berusaha meyakinkan bahwa itu hanya produksi awal. ”Ini bentuk adaptasi tanah dan tanaman. Kalau pupuk kandang digunakan terus- menerus, produksi kembali normal.”
Perlahan usahanya menampakkan hasil. Bidang tanah yang diberi pupuk organik bertambah menjadi sekitar 8 hektar. Produksi pun meningkat sampai 1,2 ton per hektar.
Suparyoto juga mengajari petani melakukan pascapanen dengan benar, misalnya dengan petik merah dan penjemuran di lantai jemur atau terpal. ”Ini menjadikan cita rasa kopi lebih enak dan terjaga,” ujarnya.

Masih puluhan

Dari sekitar 900 petani kopi, baru puluhan orang yang mengerjakan tanahnya dengan pupuk organik.

Suparyoto berharap, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah petani kopi organik terus bertambah. Salah satu upaya dia adalah memberikan penjelasan tentang dampak kopi organik bagi kesehatan.

”Saya bilang kepada teman- teman, kopi yang dibudidayakan secara organik itu tak mengandung residu obat kimia tinggi,” katanya. Di sini, yang beruntung tak hanya petani, tetapi juga konsumen, dan dalam jangka panjang lingkungan pun tidak tercemar.
Dengan pemikiran itu, Suparyoto yakin suatu hari nanti kopi organik Gunung Terang dapat memenuhi syarat perdagangan kopi internasional, yakni ramah lingkungan.

”Saya ingin menjadikan Gunung Terang sebagai kawasan kopi organik. Lampung adalah etalase kopi nasional, kenapa tidak ada kekhususan pada produk kopinya supaya bisa dikenal seperti kopi toraja atau kopi gayo,” ujarnya.

Sayang eksportir kopi lampung umumnya masih mengandalkan peningkatan produksi, belum kualitas. Itulah salah satu sebab harga jual kopi organik sama dengan kopi yang memakai pupuk kimia.

Untuk mengatasinya, Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir bekerja sama dengan Watala mendirikan Warung Organik sebagai upaya pemasaran sendiri.

Melalui warung ini, sebanyak 5-7 ton kopi organik Gunung Terang setiap tahun diproses, dikemas, dan dipasarkan ke Bandar Lampung, Medan, sampai Bogor, Jawa Barat.

Selain itu, upaya Suparyoto menghasilkan kopi organik juga dipelajari oleh petani kopi dari Bengkunat, Lampung Barat, Ulu Belu Tanggamus dan Tanjung Raja, Lampung Utara, serta Sendang Agung dan Sendang Asih, Lampung Tengah.

Source :
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/21/03401247/suparyoto.dan.kopi.organik.dari.lampung

Helena F Nababan
Selasa, 21 Juli 2009 | 03:40 WIB

kopi

kopi