Senin, 11 April 2011

Madu Hutan Lampung Barat Terkenal di Belanda

Kamis, 30 September 2010 17:33 WIB
REPUBLIKA.CO.ID, LIWA--Turis Belanda menggemari madu hutan Lampung Barat, bahkan ketenaran madu hutan daerah ini hingga negara tersebut, kata seorang pedagang Sukendar (38) di Lampung Barat, Kamis. "Madu hutan dari Lampung Barat digemari turis dari mancanegara terutama yang berasal dari Belanda, bahkan mereka saat mereka melakukan kunjungan berlibur di Lampung Barat selalu menyempatkan membeli madu hutan tersebut," katanya.

Pedagang madu hutan Kecamatan Sumberjaya, Lampung Barat, sekitar 256 km dari Bandarlampung, di Sumberjaya itu mengaku setiap bulan menyiapkan pesanan madu hutan dari sejumlah turis melalui agen wisata daerah ini. Dia mengatakan, harga madu hutan tidak dibedakan baik masyarakat dalam daerah maupun turis asing. Semua sama, yang membedakan harganya hanya kualitas madu itu sendiri.

Setiap bulan permintaan madu hutan pedagang mengalami peningkatan seiring tersebarnya informasi mengenai khasiat madu yang dicari warga masyarakat, jelasnya. "Kekurangannya hanya kemasan masih sederhana. Kami berharap, ke depan pemerintah dapat membantu untuk mengalokasikan bantuan modal, agar pengelola madu hutan dapat dilakukan dengan kemasan modern dan menarik perhatian konsumen," katanya.

Madu hutan yang dihasilkan masyarakat Lampung Barat dipercaya memiliki kualitas tinggi, sehingga mutu dan kualitas yang baik itu membuat sebagian besar turis asing menyukainya, terutama turis yang berasal dari Belanda.

Sebagian besar wilayah di Lampung Barat adalah hutan, sehingga ketersediaan madu diprediksi banyak, sehingga tidak kesulitan bagi pemburu madu untuk mencarinya. Pasokan madu akan berkurang bila kondisi cuaca tidak membaik. Pasalnya sebagian besar pencari madu kesulitan memanjat pohon dengan ketinggian lebih dari 40 meter.

Ketenaran madu daerah ini membuat sejumlah turis asing kerap membawa madu hutan Lampung Barat untuk dibawa ke negaranya sebagai buah tangan atau oleh-oleh wajib bagi wisatawan yang berkunjung di daerah tersebut.

Selain nikmat, madu hutan Lampung Barat juga dinilai berkhasiat, sehingga pelanggan dari dalam dan luar daerah memanfaatkan madu hutan sebagai obat, atau sebagai campuran obat herbal lain.


Pedagang mampu menjual madu hutan hingga 50 botol setiap minggu. Penjual madu mengalami peningkatan omzet penjualan bila pesanan madu meningkat, tambahnya.

Seorang turis asal Belanda, Steve Bernito (34) mengatakan, madu hutan Lampung Barat enak. "Setiap saya berkunjung di Lampung Barat selalu membawa madu hutan sebagai buah tangan untuk keluarga. Selain itu madu hutan ini dapat memberi banyak khasiat bagi kesehatan," kata dia.

Dia mengatakan, harga madu hutan Lampung Barat terjangkau, dan yang terpenting berkualitas baik. "Madu hutan ini menjadi buah tangan wajib bagi saya saat berlibur di Lampung Barat. Bahkan dari informasi yang saya sampaikan, akhirnya teman-teman saya banyak yang membawa madu ke negaranya," katanya.
Redaktur: Siwi Tri Puji B
Sumber: Ant

Kopi Organik dari Lampung

Saat sebagian pihak masih berkutat dengan upaya peningkatan produksi, Suparyoto sudah berupaya memperbaiki kualitas produksi kopi. Saat pasar dunia meributkan dampak budidaya pertanian berbahan kimia, dia telah berpikir untuk menghasilkan produk pertanian ramah lingkungan.

Seluruh upaya itu terwujud dalam bentuk budidaya pertanian kopi robusta organik di Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Kawasan berudara sejuk dengan ketinggian 700 meter di atas permukaan laut ini berbatasan dengan kawasan hutan lindung Register 45B Bukit Rigis.

Suparyoto adalah Ketua Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir Desa Gunung Terang, Kecamatan Way Tenong, Lampung Barat. Maka, pada waktu-waktu tertentu ia mengadakan pertemuan dengan sejumlah pengurus kelompok tani tersebut. Misalnya, ketika mereka memutuskan menggunakan mesin pemotong rumput untuk membasmi rumput yang banyak tumbuh di bawah tanaman kopi.

”Mesin ini diharapkan bisa menjadi pengganti obat kimia pembasmi rumput,” ujar Suparyoto, atau Pak Par, panggilannya.

Dari Semarang, Jawa Tengah, Suparyoto datang ke Gunung Terang pada 1994, menyusul orangtuanya yang menjadi petani. Di sini ia mendapati penghidupan warga desa yang umumnya miskin. Mereka menggantungkan hidup dari hutan karena kopi hanya dipanen sekali setahun. Akibatnya, daya dukung hutan terus menurun.

Dia lalu membentuk kelompok tani. ”Dalam pikiran saya, kelompok tani akan memampukan petani di Gunung Terang untuk mengakses pasar dan sarana pertanian,” ujar Suparyoto yang juga mengajari warga menanam pisang di antara tanaman kopi, selain menanam sayuran atau empon-empon, untuk menambah pendapatan.

Pada September 2000 terbentuk kelompok tani Tunas Enggal dan dua kelompok hutan kemasyarakatan (HKm). Kelompok HKm dibentuk untuk merespons surat keputusan Menteri Kehutanan mengenai pengelolaan hutan bersama masyarakat. Lewat HKm, warga setempat diizinkan mengelola hutan Bukit Rigis yang rusak, sekaligus untuk menyelamatkannya. Sedangkan Tunas Enggal dibentuk untuk mempermudah akses pasar dan memperkuat kelembagaan petani.

”Saat itu kami mendapat pendampingan dari Watala, lembaga pendampingan masyarakat yang bergerak di bidang pelestarian lingkungan,” ujarnya.

Kesulitan pupuk

Pendorong untuk beralih pada budidaya organik muncul ketika pada tahun 2003-2004 petani kesulitan mendapatkan pupuk kimia. Bersama Watala, Suparyoto mengajak warga memakai kotoran kambing dan kompos sebagai ganti pupuk kimia. Petani yang tergabung dalam Hkm dan Tunas Enggal lalu diajari membuat pupuk organik dari kotoran kambing dan dedaunan.

Suparyoto menjadikan kebun kopinya sebagai contoh kebun organik. Menggunakan pupuk organik, mendorong dia membuat perbandingan sebagai evaluasi sekaligus daya tarik. Bila menggunakan pupuk kimia campuran, petani membutuhkan 1,5 ton-2 ton pupuk per tahun. Ditambah biaya tenaga kerja, petani harus mengeluarkan ongkos lebih dari Rp 5 juta per tahun. Sedangkan dengan pupuk organik, petani bisa menghemat biaya pemeliharaan kebun hingga 30 persen.

Namun, dibandingkan dengan penggunaan pupuk kimia yang kecil jumlahnya, petani membutuhkan setidaknya 6 ton pupuk organik per hektar per tahun. Beruntung ada bantuan kambing dari Heifer Internasional Indonesia, Watala, dan Dinas Peternakan Lampung Barat untuk memenuhi kebutuhan bahan pupuk organik. Kebun kopi yang dikelola dengan pupuk kimia bisa menghasilkan 1,5 ton biji kopi per hektar, sedangkan kebun kopi organik pada tahun pertama hanya menghasilkan 900 kilogram per hektar.

”Sayangnya, petani tidak berpikir, pupuk kimia membuat tanah bergantung pada obat penyubur itu. Coba tidak dipupuk selama empat tahun berturut- turut, tanah pasti tidak produktif. Sedangkan pupuk organik dapat menjaga tingkat kesuburan dan unsur hara tanah,” ujarnya.

Meski begitu, Suparyoto terus memberikan pengertian kepada petani. Soal penurunan produksi hingga 60 persen dari produksi normal dengan pupuk kimia, misalnya, ia berusaha meyakinkan bahwa itu hanya produksi awal. ”Ini bentuk adaptasi tanah dan tanaman. Kalau pupuk kandang digunakan terus- menerus, produksi kembali normal.”
Perlahan usahanya menampakkan hasil. Bidang tanah yang diberi pupuk organik bertambah menjadi sekitar 8 hektar. Produksi pun meningkat sampai 1,2 ton per hektar.
Suparyoto juga mengajari petani melakukan pascapanen dengan benar, misalnya dengan petik merah dan penjemuran di lantai jemur atau terpal. ”Ini menjadikan cita rasa kopi lebih enak dan terjaga,” ujarnya.

Masih puluhan

Dari sekitar 900 petani kopi, baru puluhan orang yang mengerjakan tanahnya dengan pupuk organik.

Suparyoto berharap, seiring dengan berjalannya waktu, jumlah petani kopi organik terus bertambah. Salah satu upaya dia adalah memberikan penjelasan tentang dampak kopi organik bagi kesehatan.

”Saya bilang kepada teman- teman, kopi yang dibudidayakan secara organik itu tak mengandung residu obat kimia tinggi,” katanya. Di sini, yang beruntung tak hanya petani, tetapi juga konsumen, dan dalam jangka panjang lingkungan pun tidak tercemar.
Dengan pemikiran itu, Suparyoto yakin suatu hari nanti kopi organik Gunung Terang dapat memenuhi syarat perdagangan kopi internasional, yakni ramah lingkungan.

”Saya ingin menjadikan Gunung Terang sebagai kawasan kopi organik. Lampung adalah etalase kopi nasional, kenapa tidak ada kekhususan pada produk kopinya supaya bisa dikenal seperti kopi toraja atau kopi gayo,” ujarnya.

Sayang eksportir kopi lampung umumnya masih mengandalkan peningkatan produksi, belum kualitas. Itulah salah satu sebab harga jual kopi organik sama dengan kopi yang memakai pupuk kimia.

Untuk mengatasinya, Gabungan Kelompok Tani Hulu Hilir bekerja sama dengan Watala mendirikan Warung Organik sebagai upaya pemasaran sendiri.

Melalui warung ini, sebanyak 5-7 ton kopi organik Gunung Terang setiap tahun diproses, dikemas, dan dipasarkan ke Bandar Lampung, Medan, sampai Bogor, Jawa Barat.

Selain itu, upaya Suparyoto menghasilkan kopi organik juga dipelajari oleh petani kopi dari Bengkunat, Lampung Barat, Ulu Belu Tanggamus dan Tanjung Raja, Lampung Utara, serta Sendang Agung dan Sendang Asih, Lampung Tengah.

Source :
http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/21/03401247/suparyoto.dan.kopi.organik.dari.lampung

Helena F Nababan
Selasa, 21 Juli 2009 | 03:40 WIB

PROSES KOPI


Oleh : Suparyoto ( Gapoktan Hulu Hilir ) Gunung Terang Air Hitam Lampung Barat
18 07 2010


Biji kopi yang sudah siap diperdagangkan adalah berupa biji kopi kering yang sudah terlepas dari daging buah, kulit tanduk dan kulit arinya, butiran biji kopi yang emikian ini disebut kopi beras (coffca beans) atau market koffie. Kopi beras berasal dari buah kopi basah yang telah mengalami beberapa tingkat proses pengolahan. Secara garis besar dan berdasarkan cara kerjanya, maka terdapat dua cara pengolahan buah kopi basah menjadi kopi beras, yaitu yang disebut pengolahan buah kopi cara basah dan cara kering. Pengolahan buah kopi secara basah biasa disebut W.I..B. (West lndische Bereiding), sedangkan pengolahan cara kering biasa disebut O.I.B (Ost Indische Bereiding).
Perbedaan pokok dari kedua cara tersebut diatas adalah pada cara kering pengupasan daging buah, kulit tanduk dan kulit ari dilakukan setelah kering (kopi gelondong), sedangkan cara basah pengupasan daging buah dilakukan sewaktu masih basah.

I.                   Metode Pengolahan Kering


Metode ini sangat sederhana dan sering digunakan untuk kopi robusta dan juga 90 % kopi arabika di Brazil, buah kopi yang telah dipanen segera dikeringkan terutama buah yang telah matang. Pengeringan buah kopi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu :

1.      Pengeringan Alami

Pengeringan alami yaitu pengeringan dengan menggunakan sinar matahari, caranya sangat sederhana tidak memerlukan peralatan dan biaya yang besar tetapi memerlukan tempat pengeringan yang luas dan waktu pengeringan yang lama karena buah kopi mengandung gula dan pektin. Pengeringan biasanya dilakukan di daerah yang bersih, kering dan permukaan lantai yang rata, dapat berupa lantai plester semen atau tanah telanjang yang telah diratakan dan dibersihkan. Ketebalan pengeringan 30-40 mm, terutama pada awal kegiatan pengeringan untuk menghindari terjadinya proses fermentasi, Panas yang timbul pada proses ini akan mengakibatkan perubahan warna dan buah menjadi masak.
Pada awal pengeringan buah kopi yang masih basah harus sering dibalik dengan Blat penggaruk. Jenis mikroorganisme yang dapat berkembang biak pada kulit buah (exocarp) terutama jamur (fusarium sp, colletotrichum coffeanum) pada permukaan buah kopi yang terlalu kering (Aspergilus niger, penicillium sp, Rhizopus, sp) beberapa jenis ragi dan bakteri juga dapat berkembang. Lamanya proses pengeringan tergantung pada cuaca, ukuran buah kopi, tingkat kematangan dan kadar air dala,m buah kopi, biasanya proses pengeringan memakan waktu sekitar 3 sampai 4 minggu. Setelah proses pengeringan Kadar air akan menjadi sekitar 12 %.

2.      Pengeringan Buatan (Artificial Drying)

Keuntungan pengeringan buatan, dapat menghemat biaya dan juga tenaga kerja hal yang perlu diperhatikan adalah pengaturan suhunya. Menurut Roelofsen, pengeringan sebaiknya pada suhu rendah yaitu 55°C akan menghasilkan buah kopi yang bewarna merah dan tidak terlalu keras.
Untuk buah kopi kering dengan KA rendah dikeringkan dengan suhu tidak terlalu tinggi sehingga tidak akan terjadi perubahan rasa. Peralatan pengeringan yang biasa digunakan : mesin pengering statik dengan alat penggaruk mekanik, mesin pengering dari drum yang berputar, mesin pengering vertikal.

II.                 Metode Pengolahan Basah



Proses Metode Pengolahan basah meliputi ; penerimaan, pulping, Klasifikasi, fermentasi, pencucian, pengeringan, Pengawetan dan penyimpanan
a.       Penerimaan

Hasil panen harus secepat mungkin dipindahkan ke tempat pemerosesan untuk menghindari pemanasan langsung yang dapat menyebabkan kerusakan (seperti : perubahan warna buah, buah kopi menjadi busuk).
Hasil panen dimasukkan kedalam tangki penerima yang dilengkapi dengan air untuk memindahkan buah kopi yang mengambang (buah kopi kering di pohon dan terkena penyakit (Antestatia, stephanoderes) dan biasanya diproses dengan pengolahan kering. Sedangkan buah kopi yang tidak mengambang (non floating) dipindahkan menuju bagian peniecah (pulper).
b.       Pulping

Pulping bertujuan untuk memisahkan kopi dari kulit terluar dan mesocarp (bagian daging), hasilnya pulp. Prinsip kerjanya adalah melepaskan exocarp dan mesocarp buah kopi dimana prosesnya dilakukan d idalam air mengalir.
Proses ini menghasilkan kopi hijau kering dengan jenis yang berbeda-beda. Alat pulper yang sering digunakan : Disc Pulper (cakram pemecah), Drum pulper, Raung Pulper, Roller pulper dan Vis pulper. Untuk di Indonesia yang sering digunakan adalah Vis Pulper dan Raung Pulper.
Perbedaan pokok kedua alat ini adalah kalau Vis pulper hanya berfungsi sebagai pengupas kulit saja, sehingga hasilnya harus difermentasi dan dicuci lagi. Sedangkan raung pulper berfungsi sebagai pencuci sehingga kopi yang keluar dari mesin ini tidak perlu difermentasi dan dicuci lagi tetapi masuk ke tahap pengeringan.

c.       Fermentasi

Proses fermentasi bertujuan untuk melepaskan daging buah berlendir (mucilage) yang masih melekat pada kulit tanduk dan pada proses pencucian akan mudah terlepas (terpisah) sehingga mempermudah proses pengeringan. Hidrolisis pektin disebabkan, oleh pektihase yang terdapat didalam buah atau reaksinya bias dipercepat dengan bantuan jasad renik. Proses fermentasi ini dapat terjadi, dengan bantuan jasad renik (Saccharomyces) yang disebut dengan proses peragian dan pemeraman. Biji kopi yang keluar dari mesin pulper dialirkan lewat saluran
Pengolahan kopi secara basah terbagi 3 cara proses fermentasi: sebelum masuk bak fementasi.
Selama dalam pengaliran lewat saluran ini dapat dinamakan proses pencucian pendahuluan. Di dalam pencucian pendahuluan ini biji kopi yang berat (bernas) dapat dipisahkan dari sisa-sisa daging buah yang terbawa, lapisan lendir, biji-biji yang hampa karena bagian ini terapung di atas aliran air sehingga mudah dipisahkan.


  1. Pengolahan cara basah tanpa fermentasi Biji kopi yang setelah melalui pencucian pendahuluan dapat langsung dikeringkan.
  2. Pengolahan cara basah dengan fermentasi kering Biji kopi setelah pencucian pendahuluan lalu digundukan dalam bentuk gunungan kecil (kerucut) yang ditutup karung goni. Didalam gundukan itu segera terjadi proses fermentasi alami. Agar supaya proses fermentasi berlangsung secara merata, maka perlu dilakukan pengadukan dan pengundukan kembali sampai proses fermentasi dianggap selesai yaitu bila lapisan lendir mudah terlepas.
  3. Pengolahan cara basah dengan fermentasi basah Setelah biji tersebut melewati proses pencucian pendahuluan segera ditimbun dan direndam dalam bak fermentasi. Bak fermentasi ini terbuat dari bak plester semen dengan alas miring. Ditengah-tengah dasar dibuat saluran dan ditutup dengan plat yang beriubang-lubang. Proses fermentasi di dalam bak-bak fermentasi terrsebut dilakukan bertingkat tingkat serta diselingi oleh pergantian air rendaman. Pada tingkat pertama perendaman dilakukan selama 10 jam, Selama proses fermentasi ini dengan bantuan kegiatan jasad renik, terjadi pemecahan komponen lapisan lendir tersebut, maka akan terlepas dari permukaan kulit tanduk biji kopi.
Proses fermentasi akan berlangsung selama lebih kurang dari 1,5 sampai 4,5 hari tergantung pada keadaan iklim dan daerahnya. Proses fermentasi yang terlalu lama akan menghasilkan kopi beras yang berbau apek disebabkan oleh terjadinya pemecahan komponen isi putih lembaga.


Perubahan yang Terjadi selama Proses Fermentasi

1.      Pemecahan Komponen mucilage

Bagian yang tepenting dari lapisan berlendir (getah) ini adalah komponen protopektin yaitu suatu “insoluble complex” tempat terjadinya meta cellular lactice dari daging buah. Material inilah yang terpecah dalam proses fementasi. Ada yang berpendapat bahwa tejadinya pemecahan getah itu adalah sebagai akibat bekerjanya suatu enzim yang terdapat dalam buah kopi. Enzim ini termasuk sejenis katalase yang akan memecah protopektin didalam buah kopi.
Kondisi fermentasi dengan pH 5.5-6.0, pemecahan getah akan berjalan cukup cepat. Apabila pH diturunkan menjadi ,4.0 maka kecepatan pemecahan akan menjadi 3 kali lebih cepat dan apabila pH 3.65 pemecahan akan menjadi dua kali lebih cepat. Dengan penambahan larutan penyangga fosfat sitrat maka kondisi pH akan dapat stabil bagi aktivitas protopektinase.
Dalam proses ferrmentasi dapat ditambahkan 0.025 persen enzim pektinase yang dihasilkan dari isolasi sejenis kacang. Dengan penambahan 0..025 persen enzim pektinase maka fementasi dapat berlangsung selama 5 sampai 10 jam dengan menaikkan suhu sedikit. Sedangkan bagi proses fermentasi yang alami diperlukanwaktu sekitar 36 jam. Pada waktu buah kopi tersebut mengalami pulping sebagian besar enzym tersebut terpisahkan dari kulit dan daging buah, akan tetapi sebagian kecil masih tertinggal dalam bagian sari buah kopi.

2.      Pemecahan Gula

Sukrosa merupakan komponen penting dalam daging buah kopi. Kadar gula akan meningkat dengan cepat selama proses pematangan buah yang dapat dikenal dengan adanya rasa manis.
Gula adalah senyawaan yang larut dalam air, oleh karena itu dengan adanya proses pencucian lebih dari 15 menit akan banyak menyebabkan terjadinya banyak kehilangan konsentrasinya. Proses difusi gula dari biji melalui parchment ke daging buah yang berjalan sangat lambat.
Proses ini terjadi sewaktu perendaman dalam bak pengumpul dan pemisahan buah. Oleh karena itu kadar gula dalam daging biji akan mempengaruhi konsentrasi gula di dalam getah beberapa jam setelah fermentasi.
Sebagai hasil proses pemecahan gula adalah asam laktat dan asam asetatn dengan kadar asam laktat yang lebih besar. Asam-asam lain yang dihasilkan dari proses fermentasi ini adalah etanol, asam butirat dan propionat. Asam lain akan memberikan onion flavor.
3.      Perubahan Warna Kulit

Biji kopi yang telah terpisahkan dari pulp dan parchment maka kulit ari akan bewarna coklat. Juga jaringan daging biji akan bewarna sedikit kecoklatan yang tadinya bewarna abu-abu ata.u abu-abu kebiruan. Proses “browning” ini terjadi akibat oksidasi polifenol. Terjadinya warna kecoklatan yang kurang menarik ini dapat dicegah dalam proses fermentasi melalui pemakaian air pencucian yang bersifat alkalis.

d.       Pencucian

Pencucian secara manual dilakukan pada biji kopi dari bak fementasi dialirkan dengan air melalui saluran dalam bak pencucian yang segera diaduk dengan tangan atau di injak-injak dengan kaki. Selama proses ini, air di dalam bak dibiarkan terus mengalir keluar dengan membawa bagian-bagian yang terapung beupa sisa-sisa lapisan lendir yang terlepas.
Pencucian biji dengan mesin pencucidilakukan dengan memasukkan biji kopi tersebut dalam suatu mesin pengaduk yang berputar pada sumbu horizontal dan mendorong biji kopi dengan air mengalir.
Pengaduk mekanik ini akan memisahkan lapisan lendir yang masih melekat pada biji dan lapisan lendir yang masih melekat pada biji dan lapisan lendir yang telah terpisah ini akan terbuang lewat aliran air yang seterusnya dibuang.


e.       Pengeringan

Pengeringan pendahuluan kopi parchment basah, kadar air berkurang dari 60 menjadi 53%. Sebagai alternatif kopi dapat dikeringkan dengan sinar matahari 2 atau 3 hari dan sering diaduk, Kadar air dapat mencapai 45 %. Pengeringan kopi Parchment dilanjutkan, dilakukan pada sinar matahari hingga kadar air mencapai 11 % yang pada akhirnya dapat menjaga stabilitas penyimpanan. Pengeringan biasanya dilakukan dengan menggunakan baki dengan penutupnya yang dapat digunakan sepanjang hari. Rata-rata pengeringan antara 10-15 hari.
Pengeringan buatan (suhu tidak lebih dari 55°C) juga banyak digunakan sejak pengeringan kopi alami menjadi lebih sulit dilakukan pada perkebunan yang lebih luas.
f.         Curing

Proses selanjutnya baik kopi yang diproses secara kering maupun basah ialah curing yang bertujuan untuk menjaga penampilan sehingga baik untuk diekspor maupun diolah kembali. Tahapan proses curing ini meliputi :
Pengeringan ulang,
·         Kopi dari hasil pengolahan basah maupun kering harus dipastikan Kadar Airnya 11 %. Apabila tidak tercapai harus segera dilakukan pengeringan ulang, hal ini sangat penting dalam proses penyimpanan.
Pembersihan (cleaning)
·         Buah kopi parchment kering yang dikeringkan secara alami banyak mengandung kotoran seperti kerikil, potongan besi, dan benda asing lainnya. Kotoran tersebut harus dihilangkan. Pembersihan dapat dilakukan dengan mengeluarkan kotoran dengan saringan untuk memindahkan kotoran yang berukuran besar, pemisah magnetik untuk memindahkan potongan baja, pemindahan debu dengan bantuanhembusan angin.
Hulling.
·         Didalam mesin huller, maka biji kopi itu dihimpit dan diremas, dengan demikian kulit tanduk dan kulit arinya akan terlepas. Pecahan kulit tanduk dan kulit ari setelah keluar dari mesin huller tertiup dan terpisah dari biji kopi beras yang akan berjatuhan kebawah dan masuk ke dalam wadah.
g.       Penyimpanan

Buah kopi dapat disimpan dalam bentuk buah kopi kering atau buah kopi parchment kering yang membutuhkan kondisi penyimpanan yang sama. Biji kopi KA air 11 % dan RH udara tidak lebih dari 74 %. Pada kondisi tersebut pertumbuhan jamur (Aspergilus niger, A. oucharaceous dan Rhizopus sp) akan minimal. Di Indonesia kopi yang sudah di klasifikasi mutunya disimpan didalam karung goni dan dijahit zigzag mulutnya dengan tali goni selanjutnya disimpan didalam gudang penyimpanan.
Syarat gudang penyimpanan kopi :
  1. gudang mempunyai ventilasi yang cukup.
  2. Suhu gudang optimum 20°C-25°C.
  3. Gudang harus bersih, bebas dari hama penyakit serta bau asing.
  4. Karung ditumpuk di lantai yang diben alas kayu setinggi 10 cm.
h. Standar Mutu Kopi

1. Pegolahan kering
  • Kadar Air maksimum 13 % (bobot/bobot)
  • Kadar kotoran berupa ranting, batu, gumpalan tanah dan benda asing lainnya maksimum 0-5 % (bobot/bobot).
  • Bebas dari serangga hidup.
  • Bebas dari biji yang berrbau busuk, berbau kapang dan bulukan.
  • Biji tidak lolos ayakan ukuran 3 mm x 3mm (8 mesh) dengan maksimum lolos 1 % (bobot/bobot).
  • Untuk bisa disebut biji ukuran beger, harus memenuhi persyaratan tidak lolos ukuran (3,6 mesh) dengan maksimum lolos 1 % (bobot/bobot).
2. Pengolahan Basah
  • Kadar air maksimum 12% (bobot/bobot)
  • Kadar kotoran berupa ranting, batu, gumpalan tanah, dan berupa kotoran lainnya frlaksimum 0.5 % (bobot/bobot).
  • Bebas dari serangga hidup
  • Bebas dari biji yang berbau busuk, berbau kapang dan bulukan.
  • Untuk robusta, dibedakan ukuran besar(L), sedang(M) dan kecil(S).
  • Untuk jenis bukan robusta ukuran biji tidak dipersyaratkan.

kopi

kopi